Senin, 28 Januari 2013

TEORI SASTRA

UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013

Nama            : Tedi Siswanto
Prodi             : Bahasa dan Sastra Indonesia
Nim               : 2108120058
Kelas / Smt    : I F ( Karyawan )/ I ( Ganjil )
Mata Kuliah    : Teknologi Informasi
Sifat                : Take Home
Jenis/Bentuk    : Artikel / Jurnal / ringkasan mata kuliah
Dosen              : Ade Suherman, S.Pd., M. Pd


TEORI STRUKTURALISME

1. Pengertian
     Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).

        Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.

Menurut Para Ahli:
1). Ferdinand de Saussure
Meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.

2). Jan Mukarovsky
Memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.

3). Sklovsky
Mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.

4). Roland Barthes dan Julia Kristeva (Strukturalisme Perancis)
Mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.

2. Sejarah
          Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).

        Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu;
1. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real atau nyata.
          Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
          Konsep Teori strukturalisme murni yang paling pokok ditunjukan ialah peranan unsur-unsur dalam pembentuk totalitas, kaitannya secara fungsional diantara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur -unsurnya.
Menurut Jean Peagnet ada tiga dasar konsep strukturalisme:
1.Unsur kesatuaan sebagai koherensi internal dan pembentuk totalitas
2.Transformasi sebagai bentuk bahan-bahan baru secara terus menerus dan terjadinya saling keterkaitan antar unsur tadi
3.Regulasi diri (self regulating) yakni mengadakan perubahan kekuaatan dari dalam dan unsur-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
          Prosedur (metode) teori yang digunakan adalah metode struktural yakni suatu metode yang cara kerjanya membongkar secara struktural unsur-unsur interistik karya sastra yang meliputi didalamnya kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Dalam unsu-unsur yang dipaparkan tadi berperan sebagai pembentuk totalitas, selanjutnya terjadi saling keterkaitan antar unsur tadi (transformatif) dan terakhir regurasi diri (self regulating) yakni unsure-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
         Asumsi karya sastra berdasarkan teori strukturalisme murni karya satra di pandang dari aspek dalamnya saja yakni konsep bentuk dan isinya saja. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Ferdinand de Sausere yang intinya berkaitan dengan konsep Sign dan Meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan oleh Luxemburg sebagai signifiant-signifei dan paradigm-syntagma. Pengertiaannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsur pemberi arti dan yang di artikan. Dari dua unsur itulah ditemukan sebuah realitas yang saling berkaitan. Karena itu untuk memberi makna yang tertuang dalam karya sastra, penela’ah harus bisa mencarinya berdasarkan telaah struktur yang dalam hal ini terrefleksi melalui unsur bahasa.

Kelebihan dari teori strukturalisme murni adalah sebagai berikut:
1. Teori stukturalisme murni hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana pra sarana penelitian secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya genre sastra dan lainnya.
2. Menumbuhkan prinsif antarhubungan baik itu hubungan masyarakat dengan sastra,, minat mayarakat terhadap penelitaan inter disipliner, memberi pengaruh terhadap berkembangnya teori sastra.
3. Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman yang maksimal.

Kekurangan ataupun kelemahan dari teori strukturalisme murni ini disebabkan karena teori ini hanya menekankan otonomi dan prinsif objektifitas pada struktur karya sastra yang memiliki beberapa kelemahan pokok ialah sebagai berikut:
1. Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia.
2. Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam penafsiran terhadap karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan cirri khas kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.
3. Otomatis keobjektifitasannya akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca didalam penafsiran karya sastra tersebut.
4. Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka konvensi-konvnsi kesusastraan sehingga pemahaman kita terhadap terhadap genre dan system sastra sangat terbas sekali.

TEORI INTERTEKSTUAL
DefenisiUmum
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
 Secara Khusus
  
Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. 

 Menurut Para ahli :


1. Mikhail Bakhtin : 
MenurutBakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangkateks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).

2. Julia Kristeva
Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual padau mumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. MenurutKristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66).Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. 

. Prinsip Teori Intertekstual
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain:
(1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya  terdapat berbagai teks;
(2)interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membinakarya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks;
(3)intertek smengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; 
(4)teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap kedalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji;
(5)yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain kedalam sebuah karya (melaluiNapiah, 1994: xv).
SejarahTeoriIntertekstual
Kata "intertekstualitas" berasal dari intertexto Latin, yang berarti untuk 'berbaur sementara tenun' (Keep et al 2000). The "intertekstualitas" istilah pertama kali diperkenalkan dalam linguistik sastra oleh Bulgaria kelahiran ahli semiotika Julia Kristeva Perancis (1941 -) pada akhir tahun 1960. Dalam manifesto-nya - yang meliputi esai seperti The Teks Bounded (Kristeva 1980: 36-63) dan Word, Dialog, dan Novel (Kristeva 1980: 64-91) - Kristeva pecah dari pemikiran tradisional tentang pengaruh penulis dan sumber teks itu.
Dia berpendapat bahwa semua sistem yang berarti, dari pengaturan meja untuk puisi, yang didasari oleh cara mereka mengubah sistem menandakan sebelumnya. Sebuah karya sastra, maka, tidak hanya produk dari seorang penulis tunggal, tetapi dari / nya hubungannya dengan teks-teks lain (baik lisan dan tertulis), dan struktur bahasa itu sendiri. 
Perkembangan Teori Intertekstual 
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
   Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia  Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).


Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.


Teori Respsi Sastra
Teori sastra respon pembaca sering juga dikenal dengan istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan konseptual kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin melihat relasi pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada teori ini adalah kritik respon pembaca ( reader-response criticism ). Kritik ini menyatakan bahwa “makna” karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif. Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan makna kedalam teks sastra. Kritik ini menganggap bahwa orang yang berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh mana kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif, maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.
Jauss sebagai tokoh perumus dan pengembang teori resepsi sastra, dalam teorinya ia memusatkan perhatiaan bagaimana suatu karya diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horizon penerimaan tertentu atau erwartungshorisont atau horizon of expretion. Partisifasi pembacalah yang menghidupkan karya sastra. Sebuah karya baru menjadi peristiwa sastra, bila karya itu telah dilihat dengan adanya hubungan antara karya sastra lain. Suatu karya akan menyebabkan pembacanya memberikan reaksi tertentu berdasarkan textual strategy tertentu. Jadi bisa kita asumsikan bahwa penerimaan dapat dilihat sebagai perluasan dari aspek semiotic yang timbul dalam pengembangan dan perbaikan suatu system. dengan kata lain perubahan horizon penilaian juga bisa mengalami perubahan.
Penerimaan karya sastra dalam lapisan masyarakat bisa terjadi dengan berbagai macam kemungkinan. Reaksi atau parsitifasi aktifnya terjadi dalam bentuk adanya orang yang menciptakan karya sastra yang lain. Reaksi ini berbeda dari penerimaan pasif yang sifatnya hanya mengomentari, menyukai, memberi kritikan dan memberi masukan terhadap karya sastra tersebut. Memperhatikan bagaimana karya sastra diterima oleh seorang penulis, yang lebih kemudian dan bagaimana seterusnya ia bisa melanjutkan, memberikan kemungkinan lain; estetika dan presfektif peluang/kemungkinan penyusunan sejarah serta yang lain, yang menekankan pada aspek perkembangannya dalam hal ini karya sastra yang dikaji sebagai objek yang akan ditelaah.
Pendekatan teori respsi sastra Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan. Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini memberikan kerangka bagi perkembangan sastra karena pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas kesan seperti yang di asumsikan oleh Iser.



 

 


 

1 komentar:

  1. background item, tulisan abu2. kurang kebaca gan. Y.Y dan itu referensi dari mana ya?

    pengen baca, artikelnya bagus. tapi ya gitu.

    BalasHapus