UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013
Prodi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Nim : 2108120058
Kelas / Smt : I F ( Karyawan )/ I ( Ganjil )
Mata Kuliah : Teknologi Informasi
Sifat : Take Home
Jenis/Bentuk : Artikel / Jurnal / ringkasan mata kuliah
Dosen : Ade Suherman, S.Pd., M. Pd
TEORI STRUKTURALISME
1. Pengertian
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap
teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks.
Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya
memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi
oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata,
kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual
(karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud
ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).
Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik
sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi
umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang
menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan
de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik,
yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori
ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan
watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media
komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Menurut Para Ahli:
1).
Ferdinand de Saussure
Meletakkan dasar bagi linguistik modem
melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip
dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk,
tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan
langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang
tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang
otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa
mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa
perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan
sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan
menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan
studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti
antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
2).
Jan Mukarovsky
Memperkenalkan konsep kembar
artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang
tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas
yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.
3).
Sklovsky
Mengembangkan konsep otomatisasi dan
deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi
dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering
kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya
bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola
yang menyimpang dan tidak biasa.
4).
Roland Barthes dan Julia Kristeva (Strukturalisme Perancis)
Mengambangkan seni penafsiran struktural
berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan
kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa
sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan
sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya).
Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung
efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral,
sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri
melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
2. Sejarah
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup
panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak
konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya,
strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme
ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran
strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa
yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak
perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah
bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar
linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi
(penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra
tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat
dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata
lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap
pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang
terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh
pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya
sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia
kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas
horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang
dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan
oleh tiga hal, yaitu;
1.
Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir
ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu
kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real atau nyata.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra
akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon
harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai
generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya
sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi,
ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa
yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang
apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan
bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua
ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Konsep Teori strukturalisme murni yang paling pokok
ditunjukan ialah peranan unsur-unsur dalam pembentuk totalitas, kaitannya
secara fungsional diantara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak
dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur -unsurnya.
Menurut Jean Peagnet ada tiga dasar konsep
strukturalisme:
1.Unsur
kesatuaan sebagai koherensi internal dan pembentuk totalitas
2.Transformasi
sebagai bentuk bahan-bahan baru secara terus menerus dan terjadinya saling
keterkaitan antar unsur tadi
3.Regulasi
diri (self regulating) yakni mengadakan perubahan kekuaatan dari dalam dan
unsur-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
Prosedur (metode) teori yang digunakan adalah metode struktural yakni suatu
metode yang cara kerjanya membongkar secara struktural unsur-unsur interistik
karya sastra yang meliputi didalamnya kebulatan makna, diksi, rima, struktur
kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Dalam unsu-unsur yang
dipaparkan tadi berperan sebagai pembentuk totalitas, selanjutnya terjadi
saling keterkaitan antar unsur tadi (transformatif) dan terakhir regurasi diri
(self regulating) yakni unsure-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
Asumsi karya sastra berdasarkan teori strukturalisme murni karya satra di
pandang dari aspek dalamnya saja yakni konsep bentuk dan isinya saja.
Sebagaimana yang di kemukakan oleh Ferdinand de Sausere yang intinya berkaitan
dengan konsep Sign dan Meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan
oleh Luxemburg sebagai signifiant-signifei dan paradigm-syntagma.
Pengertiaannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsur pemberi arti dan
yang di artikan. Dari dua unsur itulah ditemukan sebuah realitas yang saling
berkaitan. Karena itu untuk memberi makna yang tertuang dalam karya sastra,
penela’ah harus bisa mencarinya berdasarkan telaah struktur yang dalam hal ini
terrefleksi melalui unsur bahasa.
Kelebihan dari teori
strukturalisme murni adalah sebagai berikut:
1.
Teori stukturalisme murni hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu
dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana pra sarana penelitian
secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya genre sastra dan
lainnya.
2.
Menumbuhkan prinsif antarhubungan baik itu hubungan masyarakat dengan sastra,,
minat mayarakat terhadap penelitaan inter disipliner, memberi pengaruh terhadap
berkembangnya teori sastra.
3.
Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada
pemahaman yang maksimal.
Kekurangan ataupun kelemahan dari teori strukturalisme murni ini disebabkan
karena teori ini hanya menekankan otonomi dan prinsif objektifitas pada
struktur karya sastra yang memiliki beberapa kelemahan pokok ialah sebagai
berikut:
1.
Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan
relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan
manusia.
2.
Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam penafsiran terhadap
karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya karena penafsiran
tersebut akan mengorbankan cirri khas kepribadian, cita-cita dan juga
norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial
tertentu.
3.
Otomatis keobjektifitasannya akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan
lebih besar terhadap campur tangan pembaca didalam penafsiran karya sastra
tersebut.
4.
Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka konvensi-konvnsi
kesusastraan sehingga pemahaman kita terhadap terhadap genre dan system sastra
sangat terbas sekali.
TEORI INTERTEKSTUAL
DefenisiUmum
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian
terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik
seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya,
di antara teks yang dikaji.
Secara Khusus
Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks
berusaha menemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya
sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Secara luas interteks
diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain.
Menurut Para ahli :
1. Mikhail Bakhtin :
MenurutBakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian
bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada
kerangkateks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan
atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
2. Julia Kristeva
Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual padau mumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. MenurutKristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66).Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual padau mumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. MenurutKristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66).Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
. Prinsip Teori Intertekstual
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan
sebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya
yang lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau
jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh
dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa
teks fiksi maupun puisi.
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan
kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain:
(1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di
dalamnya terdapat berbagai teks;
(2)interteks menganalisis sebuah karya itu
berdasarkan aspek yang membinakarya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur
seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur
seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks;
(3)intertek smengkaji keseimbangan antara aspek
dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks
tersebut;
(4)teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks
itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu
pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat
aspek-aspek yang meresap kedalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji;
(5)yang dipentingkan dalam interteks adalah
menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain kedalam sebuah
karya (melaluiNapiah, 1994: xv).
SejarahTeoriIntertekstual
Kata "intertekstualitas" berasal dari
intertexto Latin, yang berarti untuk 'berbaur sementara tenun' (Keep et al
2000). The "intertekstualitas" istilah pertama kali diperkenalkan
dalam linguistik sastra oleh Bulgaria kelahiran ahli semiotika Julia Kristeva
Perancis (1941 -) pada akhir tahun 1960. Dalam manifesto-nya - yang meliputi
esai seperti The Teks Bounded (Kristeva 1980: 36-63) dan Word, Dialog, dan Novel
(Kristeva 1980: 64-91) - Kristeva pecah dari pemikiran tradisional tentang
pengaruh penulis dan sumber teks itu.
Dia berpendapat bahwa semua sistem yang berarti,
dari pengaturan meja untuk puisi, yang didasari oleh cara mereka mengubah
sistem menandakan sebelumnya. Sebuah karya sastra, maka, tidak hanya produk
dari seorang penulis tunggal, tetapi dari / nya hubungannya dengan teks-teks
lain (baik lisan dan tertulis), dan struktur bahasa itu sendiri.
Perkembangan Teori Intertekstual
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh
gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat
besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan
pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau
cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra,
parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual
tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut
Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia
Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai
hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan
sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi
dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin
dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang
menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai
bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna
dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya
yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva
mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum
menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa
dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah
teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan
atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton,
1990: 1).
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas
sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk
membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra
perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan
membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang
tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana
teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis.
Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya
pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara
penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji
sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum
perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan
adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan,
baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para
sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya,
biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan.
Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu
pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
Teori Respsi Sastra
Teori sastra respon pembaca sering juga dikenal dengan
istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian pada hubungan
antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan konseptual
kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin melihat relasi
pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada teori ini adalah
kritik respon pembaca ( reader-response criticism ). Kritik ini menyatakan
bahwa “makna” karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau
dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif.
Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan
makna kedalam teks sastra. Kritik ini menganggap bahwa orang yang berbeda
repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra
secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh mana
kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai
konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap
interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini
menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling
benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat
mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif,
maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.
Jauss sebagai tokoh perumus dan pengembang teori resepsi sastra, dalam
teorinya ia memusatkan perhatiaan bagaimana suatu karya diterima pada suatu
masa tertentu berdasarkan horizon penerimaan tertentu atau erwartungshorisont
atau horizon of expretion. Partisifasi pembacalah yang menghidupkan karya
sastra. Sebuah karya baru menjadi peristiwa sastra, bila karya itu telah
dilihat dengan adanya hubungan antara karya sastra lain. Suatu karya akan
menyebabkan pembacanya memberikan reaksi tertentu berdasarkan textual strategy
tertentu. Jadi bisa kita asumsikan bahwa penerimaan dapat dilihat sebagai
perluasan dari aspek semiotic yang timbul dalam pengembangan dan perbaikan
suatu system. dengan kata lain perubahan horizon penilaian juga bisa mengalami
perubahan.
Penerimaan
karya sastra dalam lapisan masyarakat bisa terjadi dengan berbagai macam
kemungkinan. Reaksi atau parsitifasi aktifnya terjadi dalam bentuk adanya orang
yang menciptakan karya sastra yang lain. Reaksi ini berbeda dari penerimaan
pasif yang sifatnya hanya mengomentari, menyukai, memberi kritikan dan memberi
masukan terhadap karya sastra tersebut. Memperhatikan bagaimana karya sastra
diterima oleh seorang penulis, yang lebih kemudian dan bagaimana seterusnya ia
bisa melanjutkan, memberikan kemungkinan lain; estetika dan presfektif
peluang/kemungkinan penyusunan sejarah serta yang lain, yang menekankan pada
aspek perkembangannya dalam hal ini karya sastra yang dikaji sebagai objek yang
akan ditelaah.
Pendekatan
teori respsi sastra Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal ini bagaimana
seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang memungkinkan ia
dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana seorang bukan
penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna tertentu bagi
dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada kesanggupan
mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan. Jauss memahami karya
sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini mungkin saja
berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang mentransformasikan atau
mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini
memberikan kerangka bagi perkembangan sastra karena pendekatannya mengembangkan
perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas kesan seperti yang di
asumsikan oleh Iser.